Meniti Ladang Waktu dan Kehidupan yang Semakin Berisik

Angger Pangestu
4 min readAug 18, 2023

--

Haaaaaaaaaaahhhhh… Nafas yang semakin berat….. Dalam pengarungannya pada ladang waktu. Nafas terakhir dari sebuah ketenangan yang begitu sederhana dan begitu mudahnya kehidupan dapat memberkatinya bagi mereka yang menginginkannya. Setidaknya ketenangan hanya dapat dimiliki bagi mereka yang telah meninggalkan ladang waktu.

Bisakah kita yang terjebak pada pusaran waktu dapat menikmati apa yang sebenarnya kehidupan dapat berikan? Akankah manusia sudah kodratnya tenggelam dalam terpaan gelombang kehidupan tanpa ada kesempatan untuk melawan. Aku kan mengulang untuk kesekian kalinya, bahwasanya kita memang diperbudak. Perbudakan yang tak lekang waktu dan oleh waktu itu sendiri.

Sudah menjadi keberkahanku untuk berdiri diantara manusia yang tak pernah menyisihkan untuk rehat sejenak. Rehat dari kehidupannya yang bising. Manusia akan sakau jika mereka tidak bisa mendapatkan candu kebisingannya, sekalipun ketenangan yang sebenarnya mereka inginkan. Mereka tertipu oleh kebisingan diri mereka sendiri. Berusaha menjadi semakin hebat, maha hebat, dan lebih lebih hebat dari diri mereka sendiri sebelumnya. Sungguh keserakahan menjijikan yang tiada habisnya.

Semakin diri berjalan diluar keserakahan yang luar biasa dan semakin sempit diri ini berjalan di ruang yang kosong.

Setiap gradasi dari keserakahan manusia adalah degradasi akan kebutuhan kemanusiaan itu sendiri. Kemajuan dan gradasi manusia selalu mengarah pada lingkaran setan penghancur waktu. Mereka mencari waktu lebih dengan amunisi waktu mereka yang sedikit. Membuang sekaligus bekerja untuknya, lebih waktu, lebih waktu senggang. Apa yang sebenarnya yang diri ini ingin gapai dengan waktunya yang fana? Semakin diri berjalan diluar keserakahan yang luar biasa dan semakin sempit diri ini berjalan di ruang yang kosong.

Dengan kata lain, primata manusia berevolusi untuk dapat bekerja lebih dan lebih keras bahkan lebih haus akan materi. Seakaan yang tersisa dari mereka hanyalah segelintir daging tidak bermakna. Mungkin juga sudah hakikat dan kodratnya manusia untuk bekerja lebih keras dan lebih banyak bekerja agar selalu bekerja memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas akan pekerjaan.

Manusia tidak pernah maju dalam langkah-langkahnya yang tersendat-sendat karena mereka adalah makhluk yang sakit. Saking sakitnya melempar kemanusian mereka yang menjadikan mereka tetap sebagai manusia. Mereka melempar pemaknaan kan dirinya sendiri agar dapat menopang tubuh kosong tak berarti itu. Benar-benar tindakan bodoh mengingat tubuh ialah sekadar cangkang yang tak pantas untuk diperjuangkan.

Mengapa tuan waktu hanya membagikan kenikmatannya pada mereka yang tidak berusaha untuk memujanya.

Aku akan menganggap bahwa mungkin pengetahuan, keinginan, dan kemakmuran dari manusia selalu berbanding terbalik dengan waktu yang dapat mereka peroleh. Mereka yang begitu semangat menyisir ladang keinginan tamaknya, tidak akan pernah mendapatkan cukup waktu. Namun, waktu begitu melimpah bagi tangan-tangan yang sudah cukup letih untuk berjalan. Begitu kejamnya waktu membagi-bagikan kasihnya dengan tidak begitu adilnya. Mengapa tuan waktu hanya membagikan kenikmatannya pada mereka yang tidak berusaha untuk memujanya, sedangkan begitu pelit pada mereka yang benar-benar membutuhkannya.

Disaat waktu berjalan memangsa setiap dari mereka yang dilewatinya, paruh yang kelaparan harus tetap diberi. Hidup untuk menghidupi paruh sendiri dan paruh yang lain. Berlari kesana kemari menghampiri siapa saja yang dapat membuat mereka sibuk. Menusuk dan merempukkan setiap bagian dari tubuhnya tuk menjadi bagian dari jembatan kehidupan yang sedang mereka rintih. Sungguh malang primata ini, jalannya tidak akan pernah selesai, sekalipun dia berlari mengorbankan semua waktunya.

Usaha yang lebih diinginkan dari mereka yang telah berevolusi melewati ambang batas kesadarannya. Namun, mereka tidak pernah sadar mereka hanya mengulang kesibukan yang sama atau palah menambah kesibukan yang semakin padat. Menyeret setiap usaha yang dapat mereka peroleh sebanyak mungkin. Tentu akan menghadiahkan mereka surplus materi yang tiada bayangkan.

Surplus materi memberikan mereka tempat hangat untuk memperbanyak jumlah dari diri mereka. Sekaligus memperbanyak paruh yang harus diberi sesuap materi lebih. Jangan salahkan mereka bahwa untuk bekerja lebih dan lebih untuk memberikan penghidupan bagi yang datang dari ketiadaan. Sudah takdirnya bahwa evolusi memberikan sesuatu yang seperti. Sungguh kejam dan keji, walaupun sama menjijikannya bagi mereka yang hanya menginginkan untuk tetap berada pada lingkaran penghancur waktu ini.

Aku sudah benar-benar lelah berada diantara manusia.

Siapakah berani melawan kuasa yang tiada tandingannya, waktu. Tubuh yang lelah, wajah yang lesu, tangan yang letih, kaki yang tidak bertenaga, paruh yang patah, dan hati sibuk. Aku sudah benar-benar lelah berada diantara manusia. Mereka semua sama lelahnya, tetapi tidak mengakuinya. Aku tidak kuat untuk berada diantara mereka. Berikan cangkang ini sedikit kekuatan agar dapat berlari menjauh dari ladang waktu dan jangan biarkan ia pulang untuk masuk pada neraka perulangan setan kesibukan manusia.

Tak ada jalan pintas……………..

Adakah jalan yang menenangkan untuk dapat keluar darinya, waktu. Semakin rintih tubuh ini menghadapi manusia setiap harinya. Mereka hanya tidak pernah membuka diri sejati mereka. Mereka berkubang dalam lumpur menjijikan yang tidak pernah ingin mereka tinggal. Tak seperti mereka, aku sudah menyadari tuk meninggalkannya. Namun, tidak ada jalan pintas. Aku sudah mencarinya kemanapun, sekalipun mungkin jalan pintas yang berbatu ada disuatu tempat.

Pencarian jalan yang mulus untuk dapat kabur dari ladang waktu tidak akan pernah ditemukan kecuali jalan yang sangat kasar dan berbatu. Aku tidak akan melalui jalan itu, walau aku sesekali akan mempertimbangkannya. Jalan yang dapat membawa tubuh ini bebas dengan cantiknya adalah jalan yang aku benar-benar inginkan. Beritahukan padaku jika kamu pernah menemukannya. Aku akan dengan senang hati berterima kasih dan melewatinya dengan suka ria.

Pada akhirnya aku harus berada diantara kerumunan manusia lagi dan lagi. Menahan rasa tidak nyaman yang menyelimuti sekujur tubuh yang sudah sakit..

--

--

Angger Pangestu
Angger Pangestu

Written by Angger Pangestu

Hanya orang yang berusaha normal pada umumnya.

Responses (1)